Beberapa minggu yang lalu aku menghadiri pembukaan sebuah toko maenan edukasi milik tetanggaku. Salah satu acaranya adalah mendengarkan cerita bagaimana awal mula dia memulai usahanya itu. Bagaimana dia harus door to door mencari modal, membuka lapak di pasar kaget, menawarkan ke sekolah-sekolah, macem-macemlah, dan itu dijalani dengan waktu yang tidak sebentar. Berbagai kendala ia ceritakan detail kepada para tamu yang hadir.
Istrinya yang bercerita, suaminya yang memvisualkannya dengan proyektor. Terlihat kompak. Sampai pada akhir ceritanya, dia bilang bahwa dirinya agak kewalahan menerima pesanan yang sudah mulai diekspor.
Istrinya yang bercerita, suaminya yang memvisualkannya dengan proyektor. Terlihat kompak. Sampai pada akhir ceritanya, dia bilang bahwa dirinya agak kewalahan menerima pesanan yang sudah mulai diekspor.
Dari para tamu yang kebanyakan ibu-ibu, berdecak kagum dengan usaha istri-suami itu (*eh). Gigih dan pantang menyerah. Dan satu lagi yang ku ambil dari ceritanya, dan itu penting adalah saling mendukung antara pasangan ini. Mereka itu bagai gayung ketemu ember (*mikir deh).
Pikiranku jadi balik ke diri sendiri. Beberapa tahun ini suamiku memutuskan untuk mempunyai usaha sendiri (usaha patungan tepatnya) setelah sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang (sangat) lumayan.
Bebas finansial dan bisa membuka lapangan pekerjaan adalah niat awalnya. Sound tempting yah. Tapi begitulah. Sekarang ada sekitar 15 karyawan yang bekerja. Alhamdulillah, masih sedikit :). Maksudnya, doain makin bertambah ya.
Tapi namanya usaha, kadang naik kadang turun. Kadang untung kadang rugi. Dan kalau dalam keadaan "merugi", aku adalah orang pertama yang merengek memintanya untuk balik bekerja kembali sebagai karyawan di perusahaan lain. Mentalku mungkin belum sekuat suamiku. Berada di zona nyaman sudah cukup buatku. Padahal kalau dalam kondisi begitu yang dibutuhkan suami adalah dukunganku, penyemangatnya, bukan rengekan :). Sama-sama membulat tekat kalau sudah memilih sesuatu dalam hidup bersama.
Proses naik turunnya usaha ini berusaha aku rasakan banget. Nikmat ketika usaha kita mengalami kenaikan, dan hanya bisa pasrah ketika turun. Nikmat ketika banyak orang mendekat saat kita di atas, dan pasrah ketika hanya dilirik sebelah mata saat kita di bawah.
Dan satu lagi, kalau dalam posisi dibawah itu terasa banget beratnya karena ada anak-anak yang mulai butuh biaya besar, belum lagi menjelaskan keadaan yang terjadi pada keluarga besar. Siapa sih yang ngga kepengin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya? Dan membahagiakan orang tuanya? *ah, jadi dalem curhatnya :p
Gini aja deh, kata orang bijak, bahwa tidak ada satu orangpun di dunia ini yang hidup dari peruntungan. Setiap orang terlihat beruntung karena tau bagaimana memilih. Ada kutipan begini :
Terdengar egois kah jika aku dan suami mencoba mengambil pilihan lain yang lebih beresiko, tapi bisa membuat pengalaman hidup kami menjadi lebih kaya? Semoga tidak. Bismillah....
kalo bekerja tetap tapi sambil usaha bukannya jauh lebih baik ya kak? hehehe
ReplyDeleteaku kok kepikirannya gitu ya