7 September 2024. Aku dan tim dari Tular Nalar x KEB berkesempatan mengunjungi Desa Sukatenang, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten Bekasi. Kami datang membawa misi penting: mengedukasi masyarakat (lansia) tentang bahaya hoaks dan penipuan, terutama yang sering muncul menjelang pemilu. Program ini diberi nama Lansia Berbudi : Bugar Bersama Digital
Kami sampai di lokasi dengan sambutan hangat dari warga disana. Namun, kami dihadapkan pada tantangan besar. Ternyata banyak warga yang tidak bisa membaca, dan akses mereka ke gadget pun sangat terbatas. Hal ini baru kami ketahui begitu sampai di lokasi dan berinteraksi dengan mereka.
Tetapi keterbatasan bukanlah penghalang. Sebaliknya, ini menjadi peluang untuk menemukan pendekatan efektif dengan warga agar edukasi ini tetap sampai ke warga dan dimengerti oleh mereka.
Acara diadakan di sekolah Alam Prasasti, yang memiliki area luas. Ada lebih dari 1000 warga yang hadir, ini melebihi ekspektasi kami. Menunjukkan antusiasnya warga atas acara ini. Kamipun semakin bersemangat. Kami ingin memastikan bahwa kehadiran mereka dengan keterbatasan literasi atau teknologi tidak menjadi penghalang bagi warga untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Lansia Menghadapi Tantangan di Dunia Digital
Mengapa beberapa lansia memilih tidak menggunakan gadget?
Bagi sebagian lansia, gawai sering kali tidak dianggap sebagai kebutuhan utama. Mereka lebih mengutamakan aktivitas fisik atau interaksi langsung dengan keluarga dan tetangga, yang dirasa lebih bermakna dibandingkan dengan dunia digital. Selain itu, ada persepsi bahwa teknologi hanya cocok untuk anak muda atau mereka yang bekerja. Ditambah lagi, kendala fisik seperti penglihatan yang menurun, keterbatasan motorik halus, atau masalah kesehatan lainnya membuat penggunaan gawai terasa lebih merepotkan daripada bermanfaat. Akibatnya, banyak lansia yang akhirnya memilih untuk tidak menggunakan gawai sama sekali.
Mengapa beberapa lansia tidak mampu mengoperasikan gadget?
Lansia umumnya tumbuh di era di mana teknologi digital seperti ponsel pintar atau internet belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Karena itu, mereka tidak memiliki kebiasaan atau pengetahuan dasar untuk menggunakan gawai. Banyak yang merasa bingung dengan tampilan layar sentuh, istilah-istilah teknis, atau langkah-langkah yang tampak rumit, seperti mengunduh aplikasi atau mengatur akun. Rasa takut melakukan kesalahan—seperti salah pencet atau merusak perangkat—juga membuat mereka ragu untuk mencoba. Ketidakbiasaan ini, ditambah dengan kurangnya pendampingan membuat banyak lansia merasa teknologi terlalu sulit untuk dipelajari.
Pakai cara sederhana agar pesan Mudah dimengerti
Warga yang hadir kami bagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Tiap kelompok ada 10 orang warga + 1 orang fasilitator.
1. Cerita yang relate dengan kehidupan sehari-hari
Aku memulainya dengan sebuah cerita sederhana, tentang seseorang yang hampir kena tipu gara-gara telepon palsu yang mengaku dari “panitia pemilu”. Tak hanya mendengarkan, mereka juga menceritakan penipuan dan penyebaran hoaks yang pernah mereka alami.
Ada yang bercerita tentang dirinya yang hampir kehilangan uang karena telepon palsu yang mengaku sebagai "penerima kerja", "memang undian berhadiah". Dengan cara ini, warga bisa memahami bahwa apa yang pernah mereka alami termasuk penipuan dan penyebaran hoaks. Dan ada banyak bentuk penipuan yang harus diwaspadai.
2. Istilah yang mudah diingat
Untuk membantu lansia mengenali hoaks dan berita palsu, kami memperkenalkan dua konsep sederhana: WAKUNCAR dan ABCD. Wakuncar adalah singkatan dari Waspada, Kunjungi, Cari. Lansia diajak untuk selalu waspada terhadap informasi yang terasa janggal, mengunjungi sumber terpercaya seperti tokoh masyarakat atau keluarga, dan mencari informasi pembanding untuk memastikan kebenarannya. Sementara itu, ABCD (Amati, Baca, Cari, Diskusi) mengajak lansia untuk mengamati isi informasi dengan teliti, membaca lebih detail, mencari fakta dari sumber lain, dan berdiskusi dengan orang terdekat sebelum mempercayai atau menyebarkan berita. Dengan konsep ini, kami memberikan panduan praktis yang mudah diingat dan sesuai dengan kebiasaan sehari-hari lansia, agar mereka lebih percaya diri menghadapi informasi digital.
3. Latihan Praktek : Agar lebih melekat di ingatan
Setelah memberikan penjelasan seperti diatas, warga diajak latihan langsung. Mereka diminta membayangkan menerima informasi meragukan, misal "Ibu menang undian besar, segera transfer uang!” Lalu, aku meminta mereka menjawab apa yang akan mereka lakukan.
Ada yang menjawab, awalnya ingin langsung membalas atau percaya, tapi setelah diskusi, mereka mulai memahami pentingnya bertanya lebih dulu. Ada tiga pertanyaan sederhana yang bisa membantu mereka berpikir kritis:
"Ini masuk akal nggak sih?"
"Siapa yang mengirim pesan ini?"
"Bisa dicek dulu ke orang lain nggak?"
Latihan ini harus ulang beberapa kali, agar mereka benar-benar ingat. Melalui praktek langsung, aku melihat bagaimana warga mulai merasa percaya diri untuk mengenali hoaks dan penipuan.
Hasil yang Menginspirasi
Akademi digital lansia ini bukan hanya seputar soal penggunakan gadget atau membaca berita di internet. Ini lebih dari itu. Akademi digital lansia ini adalah tentang mengedukasi kemampuan lansia berpikir kritis, mengenali tanda-tanda penipuan dan hoaks, dan berani bertanya sebelum percaya. Dengan pendekatan sederhana, warga Sukatenang mulai memahami bahwa tidak semua informasi itu benar, dan penting untuk selalu waspada.
Meski sederhana, pendekatan ini diharapkan bisa menanamkan kesadaran akan pentingnya memeriksa informasi sebelum mempercayai atau menyebarkannya. Warga mulai bisa memahami dan mengenali berita hoaks.
Setelah kegiatan selesai, ada banyak cerita yang membuat aku tersenyum. Beberapa warga mulai saling membantu untuk memeriksa berita yang mereka terima. Ada yang berkata, “Kalau saya dapat pesan aneh, saya sekarang tanya dulu ke anak saya atau tetangga.” Bahkan, beberapa warga secara sukarela ingin menjadi “penjaga informasi” untuk membantu tetangganya bila mendapati berita yang tidak benar.
Kegiatan ini membuktikan bahwa meskipun ada keterbatasan, edukasi tetap bisa dilakukan. Yang penting adalah kemauan untuk mendekati masyarakat dengan cara yang sederhana dan relevan dengan kehidupan mereka.
No comments:
Post a Comment